Malam ini adalah malam takbiran. Shalawat berkumandang di setiap masjid. Suaranya bergema di telinga dengan indahnya. Suara itu...,aku mengingatkanku akan rumah. Sudah berapa lama kiranya aku tak berkunjung kerumah lagi? Sudah berapa lama aku tak bersitatap dengan Emak? Hhmm..., aku lupa! Terakhir kali, aku hanya mengingat bahwa aku meminta restu dan ridho dari Emak. Kapan terakhir kali itu terjadi? Entahlah. Aku benar-benar sibuk untuk memikirkan itu. Bukannya apa. Tetapi, terlebih karena aku selalu saja memusatkan pikiranku pada semua pekerjaan yang sudah menjadi tugasku. Jarang sekali aku mendapatkan istirahat total. Sekarang saja, aku masih berkutat pada pekerjaanku.
Aku menyempatkan diri keluar untuk mengisi kekosongan perutku dan menghirup udara segar, sejenak. Aku memilih kedai sederhana yang ada dipinggir jalan. Ketika sedang menunggu pesananan makananku datang, aku baru menyadari bahwa ada seorang laki-laki duduk tepat didepan mejaku. Seorang Ayah. Pikirku langsung saat itu. Dari raut wajahnya yang sudah renta, tetapi tak menutupi perasaan bahagianya. Sepertinya, semua beban yang ada dipundaknya sudah hilang seketika. Tetapi, aku tidak ingin memedulikan seseorang saat ini. Aku hanya teringat pada Emak di kampung. Aku sudah sangat rindu padanya. Hanya sesekali aku sempat menghubungi Emak. Di sela-sela pekerjaanku yang padat.
“Ada masalah, Nak? Kau terlihat murung sekali”. Seseorang yang duduk di mejaku menyapa hangat di telingaku.
Seketika mendengar suara itu, aku mengangkat kepala.
“Saya hanya rindu pada Emak di kampung, pak!”, jawabku sambil tersenyum muram.
“Kenapa kau tidak menengok saja Emakmu?”
“Aku tidak yakin, Pak! Pekerjaanku banyak sekali”
Bapak tua itu tersenyum, “Seberapa banyak pekerjaanmu, kau harus menyempatkan waktumu, Nak! Kau tidak tau apa yang akan terjadi esok atau lusa. Tengoklah ia sebelum terlambat. Sebelum kau menyesal”.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Seakan-akan hatiku terbangunkan mendengar perkataan Bapak tadi. Tengoklah ia sebelum terlambat. Sebelum kau menyesal. Seketika itu juga, aku langsung meninggalkan tempat yang aku duduki dan tidak memikirkan makanan yang aku pesan tadi. Pikiranku hanya tertuju pada Emak seorang. Malam ini, aku harus segera berangkat menemui Emak di kampung apapun yang terjadi. Aku tak peduli.
Mobilku melaju kencang di jalan yang ramai, berusaha menyalip semua mobil yang menghalangi lajunya mobilku. Aku harus sampai ke kampung sebelum adzan shubuh menggema. Aku ingin melaksanakan shalat Iedul Fitri dan menjalankan sehari penuh hari Lebaran bersama Emak. Aku tak peduli lagi seberapa banyak pekerjaanku yang belum terselesaikan. Yang jelas, tekadku sudah bulat. Takkan ada yang bisa menghalanginya lagi.
Rumah itu. Rumah yang tak besar tapi asri. Tak akan jenuh berapa pun lamanya orang memandang rumah itu. Di penuhi dengan pohon-pohon yang rindang dan daunnya segar nan hijau. Belum lagi bunganya yang tumbuh mekar berwarna-warni dengan indahnya. Memasuki halamannya pun aku disambut oleh wangi segarnya bunga mekar itu. Tak tahan kepalan tanganku ingin mengetuk pintu rumah itu. Ada perasaan menyesal, malu, campur aduk semuanya karena sudah lama aku tidak berkunjung ke rumah ini. Aku juga takut Emak belum bangun Tok... tok... tok... Akhirnya aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah. Tapi, tak ada jawaban dari dalam rumah. Aku pun mengucapkan salam, tidak lagi mengetuk pintu. Lagi-lagi tak ada jawaban. Tetap senyap. Benar dugaanku. Mungkin Emak belum bangun karena kelelahan menyiapkan segalanya untuk hari ini. Hari Lebaran. Aku pun memilih untuk menuggu saja di teras rumah. Baru saja aku membalikkan badan, tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku tanpa ada suara sebelumnya. Perlu berpikir sejenak untuk mengembalikan pikiranku dengan fokus.
“Nak.., akhirnya kamu pulang juga. Emak sudang menunggu-nunggu kedatanganmu”
Belum saja aku sempat membalikkan badan, suara itu menyapaku dengan ramah. Mendengar suara itu.., hatiku terasa... Ah, aku tak bisa menggambarkan perasaanku. Rasa sedih, senang, rindu dan semuanya bercampur menjadi satu. Dengan segala keberanianku, akhirnya aku membalikkan badan. Aku melihat raut wajah Emak yang termakan oleh usia. Raut wajah keibuannya yang penyayang dan penyabar tak hilang dari terakhir aku melihat wajahnya. Seketika, aku langsung sujud dikakinya. Sujud syukur aku kepada Allah telah menemukan kembali aku kepada seseorang yang telah melahirkanku dan selalu sabar serta tak pernah mengeluh membesarkanku hinga menjadi orang yang sukses.
“Emak..., maafkan aku Mak!!! Sudah lama aku tak datang ke kampung untuk menemui Emak...” mohonku sambil bersimpuh dikaki Emak.
“Tak apa, Nak. Ayo berdiri” Emak membelai kepalaku dengan penuh kasih sayang dan membantuku berdiri.
Aku tak bisa berkata-kata apalagi. Ia, orang yang melahirkanku dan membesarkanku hingga besar seperti sekarang ini. Jasanya takkan terbalas dengan apapun yang kuberikan kepadanya. Beruntung. Allah masih mengizinkan aku melihat raut wajah Ibu yang memiliki kasih sayang sepanjang masa kepada aku, anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar